HATTAA ZURTUMUL MAQAABIR



Senja mulai berkemas perlahan meninggalkan hamparan bumi menyambut datangnya malam.Bayang-bayang telah jauh meninggalkan panjang bendanya. Para pekerja pulang menikmati tradisi macet di kota ini. Lelah yang menggelayuti tubuh sutrisno, setelah seharian bekerja, semakin bertambah eloh sentilan-sentilan klakson yang mengenai hatinya.Ditambah lagi banyaknya kendaraan umum yang berhenti di sembarang tempat semaunya. Untunglah ada Hadiansyah, tetangga dan rekan kerja yang selalu ikut membonceng di belakang sepeda motornya. Obrolan mereka di jalan sedikit mencairkan emosi di hati. Inilah keseharain sutrisno mencari nafkah untuk keluarga tercinta, enam hari dalam seminggu.
Selepas adzan maghrib,barulah ia sampai di rumah. Biasanya ia langsung menghidupkan televisi dan merebahkan tubuh lelahnya di depan televisi. Atau bila tidak, ia duduk di beranda rumahnya sambil menikmati gumpalan2 asap rokok yang ia hisap, kemudian ia keluarkan bersama lelahnya dalam dada.“Ndak shalat magrib dahulu Pak …! Ya … mulailah dari magrib Pak, kalau dzuhur atau ashar tidak sempat,” tegur Sulastri, istri tercintanya.Shalat itu ndak lama toh Pak, ndak sampai lima menit. Wong iklan di televisi saja bisa sampai lima menit, masih saja Bapak perhatikan. Anehnya, iklan itu kan selalu diulang-ulang, yo itu, itu saja.” Sering kali kata-kata itu dilontarkan Sulastri.
Berbagai macam alasan pastilah keluar dari mulut sutrisno. Masih capeklah, lelah sekali, keringat di badan belum hilang, sedang malas, nanti sajalah kalau sudah tua, dan banyak lagi alasan yang menurutnya tepat untuk menghindar dari kewajiban yang satu itu. Segan selalu membalut hatinya. 


Ia bukanlah seorang pemalas. Ia rela bekerja mencari nafkah untuk anak dan istrinya berjam-jam dalam sehari. Kegiatan di lingkungan pun selalu ia ikuti, bahkan hari libur, ada saja yang ia kerjakan. Entah mengapa untuk shalat yang waktunya tidak lebih dari lima menit, ia begitu malas. Ia tahu bahwa shalat lima waktu adalah ibadah wajib. Ia tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara. Ia juga yakin bahwa kematian pasti datang dan kelak akan mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Tuhan. Ternyata semua itu dapat dikalahkan oleh rasa malas dan segan dalam hatinya.

Istrinya pernah memberikan satu gambaran perjalanan hidup manusia. Sembilan bulan dalam kandungan ibu, masa yang tidak pernah kita ingat. Kemudian terlahir ke dunia. Ada suka, ada duka, ada senang ada sedih─silih berganti. Manusia di dunia ini tidaklah abadi, paling lama enam puluh atau tujuh puluh tahun. Lalu meninggal, dimandikan,dikafankan,dishalatkan, digotong kita dengan keranda dan dikuburkan.  Masuk alam kubur. Jika baik dan menjalankan perintah Allah maka hari-harinya di alam kubur akan bahagia. Jika buruk dan tidak menjalankan perintah Allah maka sengsaralah hari-harinya di alam kubur. Berapa lama kesengsaraan itu? Entahlah, hanya Allah Yang Maha Tahu. Dapat saja seribu tahun, dua ribu tahun atau jutaan tahun, sampai datang hari kiamat. Ini baru di alam kubur, belum lagi di alam akhirat yang kekal dan abadi. Dengan kehati-hatain istrinya menjelaskan gambaran kehidupan agar tidak menyinggung perasaannya.
“Ah, kamu Las, nakut-nakutin aku saja. Nanti juga aku shalat,” jawab Sutrisno dengan suara agak berat.
“Aku bukan nakut-nakutin lho Pak. Shalat itu penting. Kalau tidak mampu berdiri mengerjakannya, ya … duduk, kalau tidak mampu duduk, ya …berbaring atau terlentang. Malah perang sedang berkecamuk membela agama saja shalat masih tetap diwajibkan. Apalagi kita yang dalam keadaan damai dan tenang, mengapa tidak mengerjakan shalat?

Setelah mendengar penjelasan itu, ia mengerjakan shalat. Ia datang ke masjid dan menjalankan shalat berjamaah. Selesai shalat, ia merenung, mengapa shalat sangat diharuskan bagi umat Islam. Dari mulai wudhu sampai selesai shalat, ternyata banyak pelajaran yang dapat diambil dari ibadah yang bernama shalat, pikirnya. Terdapat di dalamnya kebersihan, ketertiban, gerak anggota tubuh, kekhusu’an hati dan konsentrasi, kepatuhan pada pemimpin, kekompakan, kebersihan, keindahan, dan dzkir yang lengkap mulai takbir, tahmid, tasbih, tahlil, syahadat, shalawat kepada Nabi Muhammmad saw., membaca ayat Al-Qur’an, doa dan banyak lagi. Begitu sadarnya ia akan kebaikan dan keuntungan shalat. Tetapi sayang,  hanya beberapa hari saja ia mengerjakan shalat, selanjutnya malas kembali membekap hatinya.
Gerakan shalat begitu ringan, tidak memberatkan, waktunya pun tidak lama, berbeda dengan ibadah-ibadah lain, seperti puasa yang harus tidak makan dan minum dari terbit fajar sampai terbenam matahari, zakat yang perlu pengorbanan harta atau haji yang memerlukan ongkos dan tenaga yang cukup berat. Shalat tidak perlu pengorbanan seperti itu, yang dibutuhkan hanya khusu’ gerak dan hati pada waktu yang kurang dari lima menit. Istrinya tidak pernah putus asa menasihati agar ia selalu mengerjakan shalat, menjalankan perintah Allah. Menurutnya aneh, mengapa suaminya sering membuat-buat alasan untuk tidak mengerjakan shalat lima waktu yang waktunya hanya sebentar saja. Bahkan suaminya lebih mementingkan ngobrol ngalor-ngidur dengan rekan-rekannya. Suara adzan yang ia dengar tidak sedikitpun menyentuh hatinya untuk memenuhi panggilan Tuhan itu.


Jamaah shalat Isya baru saja turun dari masjid. Kali ini sutrisno pulang bekerja agak terlambat. Belum sampai halaman rumahnya, tiba-tiba terdengar berita duka dari pengeras suara  masjid. normal Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh. Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun.itu diulang tiga kali. Entah mengapa ada keinginan kuat untuk memberhentikan sepeda motornya sejenak dan menyimak berita duka itu. “Telah meninggal dunia, Hadiansyah bin Muhammad Sukri, dalam usia empat puluh satu tahun, pada pukul delapan belas lebih lima menit …


Betapa terkejutnya Sutrisno mendengar berita duka itu. Seketika jantungnya berdebar keras dan tubuhnya ia rasakan menggigil. Ia segera memutar balik sepeda motornya, menuju rumah rekannya itu. Di perjalanan ia bergumam sendiri, “Bukankah Hadi tadi pulang bersama saya. Membonceng di belakang saya. Oh Tuhan, betapa umur tidak ada yang tahu. Bagaimana dengan anak dan istrinya? Hadi … Hadi ….” Ia terus bergumam, “kamu beruntung hadi, rajin menjalankan shalat. Betul kata istriku, ‘Jangan meninggalkan shalat! Jangan meninggalkan shalat! Umur tidak ada yang tahu. Berapa tahun di alam kubur? Berapa tahun di alam akhirat?’ Ya Allah, aku ingin bertaubat. Aku takut.” Ia terus saja bergumam. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. Tetapi ia rasakan ada sesuatu yang lain, air mata itu tidak lagi hangat di kulit pipinya. Ia seperti terbang dan melayang.


Ia saksikan jasad kaku tertutup kain terbaring di atas dipan. Ia menangis sejadi-jadinya. Lagi-lagi ia rasakan ada yang lain. Tangisnya seperti tidak terdengar. Orang-orang di samping kiri dan kanannya seakan tidak peduli padanya. Anak dan istri Hadiansyah juga tidak peduli. Ia panjatkan doa untuk rekannya itu. Kemudian ia duduk bersama pelayat lain. Ia pejamkan mata merenungi hidup. Ia dengar samar-samar namanya disebut. “Oh Tuhan sungguh celakanya aku. Apakah mereka menuduhku sebagai penyebab kematian Hadiansyah sehingga mereka tidak pedulikan aku pikirnya dalam hati.


Ia saksikan beberapa orang pelayat berbincang-bincang sambil tertawa. Ada rasa kesal melihat mereka berbincang asyik dan tertawa.         Mereka menertawakan  lelucon-lelucon kehidupan. Mereka tertawa di tempat orang berduka. Perbuatan tidak etis; perbuatan yang sebenarnya dahulu sering ia lakukan. Penyesalan. “Ya Allah,” jeritnya dalam hati, “Sungguh aku tidak pernah menjadikan kematian itu sebagai peringatan. Sungguh aku tidak merasa kematian  begitu dekat,  sehingga aku berpikir nanti, nanti dan nanti untuk bertaubat kepadaMu, Ya Allah aku mohon ampunilah aku.” Kembali cairan jernih keluar dari sudut matanya. Lagi-lagi ia rasakan cairan jernih itu tidak menghangatkan kulit mukanya. Lagi-lagi suara tangisnya seperti tidak terdengar. Tidak ada yang peduli padanya di sini.
Ia segera pulang ke rumah. Bayang-bayang kematian begitu dekat di hatinya. Sepanjang perjalanan tidak ada yang menyapanya. Bahkan menoleh padanya, sekalipun mereka teman akrab. Hatinya semakin gundah. “Apa yang salah dari semua ini,” bisik hatinya.


“Ah, banyak orang di rumahku. Dan …, bendera kuning …? Istriku …?  Oh Tuhan, mungkinkah istriku? Bagaimana aku?” Sutrisno terpaku sejenak.
Dengan tergopoh-gopoh ia masuk ke rumahnya. Jasad kaku tertutup kain terbujur di atas dipan. Ia hampiri jasad itu. Ia berusaha memeluk jasad kaku itu, namun ia tak kuasa. Kembali ia menangis, menangis sejadi-jadinya. Tiada air mata yang keluar. Air mata itu telah kering, kering bersama hati yang selalu gersang. Ia berteriak sekeras-kerasnya, namun teriakan keras itu tidak terdengar. Lagi-lagi orang-orang di sekitarnya tidak peduli.
Ia pejamkan mata. Ia sebut nama Tuhan berkali-kali. Lama ia pejamkan mata.


Beberapa saat kemudian ia membuka mata perlahan. Ternyata, Istri tercintanya berada di hadapannya, menangisi jasad yang juga ia tangisi. Air mata istrinya mengalir penuh kepiluan.
 “Oh, Tuhan …,” Sutrisno begitu terperanjat, “jasad siapakah ini?” tanyanya dalam hati.


Dingin tiba-tiba menyergap, menembus kepiluan hatinya dan  menyayat-nyayat tiada terampuni.  “Apakah ini aku …? Ya Allah …, adakah pintu taubatMu setelah ini? Selama ini aku hanya berpikir, bagaimana kalau istriku meninggal, bagaimana kalau bapakku meninggal? Aku tidak pernah berpikir bagaimana kalau aku yang meninggalkan dunia ini? Persiapan apa yang aku miliki menuju perjalanan yang panjang ini?” Lagi-lagi ia menangis, tetap tidak ada suara tangis terdengar dan tidak ada air mata yang keluar, bahkan tidak akan pernah ada.  Yang ada adalah gambaran pintu kubur di depan mata, yang ada adalah gambaran malaikat Munkar dan Nakir yang siap menghampiri dengan petanyaan-pertanyaan dan yang ada hanyalah penyesalan yang tiada berguna.
Terdengar sayup-sayup dari pengeras suara  masjid. Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh. Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun.normal istirja itu diulang tiga kali berturut-turut. “Telah meninggal Dunia, Sutrisno bin Suhendar, dalam usia empat puluh tahun, pada pukul  sembilan belas lebih tiga menit …
Tidak ada gunanya sesal tangis dan air mata setelah ini.




Hattaa Zurtumul Maqaabir(Sampai kamu masuk ke dalam kubur): surat At-Takaatsur, ayat 2. Ayat 1: Alhaakumut takaatsur(Bermegah-megahan telah melalaikan kamu).










Oleh: Ubaidillah Rais
Aktif di Yayasan. At-Tarbiyah Pinti Air
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

]" />
" />

cinta

yatim
yayasan attarbiyahpintu air. Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Categories

" />

Label

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support